Nurzahri, Politisi Muda yang Ikut Membidani Lahirnya Partai Aceh

Nurzahri (Sumber Foto: Liputan Aceh)


JIKA Aceh memiliki banyak politisi muda, boleh dikatakan Nurzahri adalah salah satu yang bersinar saat ini. Politikus Partai Aceh itu baru saja dipercaya sebagai Ketua Komisi II DPRA, salah satu komisi strategis yang membidangi perekonomian, sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Meski berkiprah di Partai Aceh, Nurzahri bukanlah anggota legislatif yang berasal dari kalangan kombatan. Namun, relasinya dengan petinggi GAM, sudah terjalin jauh-jauh hari.

“Intens berkomunikasi dengan Mentro (alm) Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe sejak 2003,” kata Nurzahri saat bincang-bincang santai sambil menyeruput kopi di Redaksi BERITAKINI.CO, Senin sore (15/5/2017).

Sesungguhnya, Nurzahri tak memiliki latar belakang politik. Displin ilmunya adalah sarjana tehnik. Dia juga sempat mengenyam pendidikan kedokteran di Unsyiah, hingga akhirnya pindah ke Institut Teknologi Bandung, sebelum Aceh diumumkan sebagai daerah Darurat Militer pada 2003 lalu. Di Bandung, Nurzahri dipercaya sebagai ketua pemuda Aceh.

Pada 19 Mei 2003, Pemerintah Indonesia memindahkan Tgk Usman Lampoh Awe bersama para petinggi GAM lainnya ke LP Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Dari sinilah awal mula relasi Nurzahri dan Partai Aceh terjalin.

Sebagai ketua pemuda Aceh, Nurzahri mengambil inisiatif untuk mengunjungi tokoh Aceh yang sedang dipenjara di sana. “Namun karena ini tahanan politik, saya harus berpikir keras supaya bisa mendapat izin,” cerita Nurzahri.

Dia lantas mengajak seorang pemudi Aceh yang ada di Bandung untuk mendampinginya. “Saya berpikir, dengan adanya perempuan bisa mengurangi kecurigaan. Kami lantas mengaku sebagai keponakan Tgk Usman Lampoh Awe,” katanya.

Jantung berdegup gencang tatkala petugas LP mengkonfirmasi pengakuan Nurzahri itu pada Tgk Usman Lampoh Awe. “Entah bagaimana, jawabannya nyambung, Tgk Usman Lampoh Awe mengakui kami keponakannya,” kata pria 38 tahun ini.

Dari sana, Nurzahi mulai rutin mengunjungi Muhammad Usman Lampoh Awe di penjara. Bahkan, Muhammad Usman Lampoh Awe menjodohkan Nurzahri dengan pemudi yang diajak menemaninya untuk pertama kali menemui menteri keuangan GAM itu. “Jadi istri saya sekarang,” katanya tertawa.

 ***

Kesepakatan Damai Helsinki Agustus 2005 menjadi babak baru bagi masyarakat Aceh, tak kecuali bagi Nurzahri. Pemerintah Indonesia membebaskan Tgk Usman Lampoh Awe dan pada 1 September 2005 dia tiba di Aceh. Namun Nurzahri masih menetap di Bandung.

Nurzahri yang memang sudah aktif di Sentral Informasi Referendum Acheh (SIRA), salah satu lembaga gerakan sipil masyarakat Aceh yang memperjuangkan Referendum opsi merdeka di Aceh, mendapat tawaran untuk mengikuti pemilihan pengurus lembaga itu. Dia dipilih sebagai Sekretaris Jenderal pada 2005-2006.

Namun Ketua Dewan Presidium SIRA Muhammad Nazar berhasrat menjadikan lembaga itu sebagai partai politik lokal, sejalan dengan agenda pesta demokrasi pemilihan kepala daerah 2006. Rencana itu ditentang oleh Nurzahri. “Saya tidak setuju dan akhirnya memilih meninggalkan SIRA,” kata ayah dua anak ini.

Kalangan GAM saat itu sedang dilanda gejolak internal. Ini menyangkut pecahnya arus dukungan di antara elit GAM antara mendukung H2O dan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar.

Namun, agenda politik inilah yang akhirnya menjadi pintu masuk bagi Nurzahri untuk berkontribusi terhadap perjuangan mantan GAM.

Petinggi GAM menunjuk Zakaria Saman (Apa Karya) menggantikan posisi Irwandi Yusuf sebagai Senior Representative GAM di Aceh Monitoring Mission.

“Saya dipanggil Mentro Muhammad dan ditugaskan membantu Apa Karya,” katanya. “Jadi ketika masa-masa sibuk Pilkada 2006, saya sibuk sebagai tim supporting Apa Karya.”

Nurzahri semakin intens dengan kalangan GAM. Dia berhasil menjalankan tugas-tugas dengan maksimal.



Hingga Muhammad Usman Lampoh Awe kembali menugaskannya untuk membantu Yahya Muad yang pada saat itu diberi mandat oleh Pimpinan Politik GAM Malik Mahmud untuk membentuk partai politik lokal yang akhirnya bernama Partai Aceh itu.

“Saat itu kami kerja di kantor KPA yang masih di Lamdingin,” katanya. “Sampai sekarang draft asli dan AD/ART partai itu ada di laptop saya karena cuma laptop saya yang di pakai saat itu.”

Partai Aceh dideklarasikan pada 2007 dan mengikuti pemilu pertama pada 2009. “Jadi saya termasuk yang membidani lahirnya Partai Aceh,” katanya.

Itulah sebabnya, kata Nurzahri, dia memiliki ikatan emosional dengan partai pemenang pemilu legislatif di Aceh dua kali berturut-turut itu. “Jadi apapun ceritanya, nggak mungkin kita larilah dari Partai Aceh.”

***

Pemilu 2009, Nurzahri mulai mencoba peruntungannya untuk berkiprah di legislatif Aceh. Dia maju sebagai calon anggota legislatif dari daerah pemilihan Langsa-Aceh Tamiang.

“Saya sebagai calon legislatif yang mendapat rekomendasi dari Mentro Malek Mahmud, yang sebagai pimpinan saat itu memiliki wewenang untuk menentukan 4 caleg dari kalangan muda, 4 dari kalangan ulama dan 4 dari kalangan perempuan,” katanya.

“Yang dari kalangan muda itu Ermiadi, Nasruddin, saya dan Kautsar,” katanya. “Tapi Kautsar saat itu menolak, dia lebih memilih di partai, jadi tiga oranglah tokoh muda yang maju.”

Namun upaya Nurzahri tak berjalan sesuai harapan. Dia gagal lolos ke kursi parlemen. “Dari Partai Aceh lima orang yang lolos, saya berada di posisi ke enam,” katanya.

Partai Aceh lantas menugaskan Nurzahri sebagai staf ahli ketua DPRA, saat itu dijabat Hasbi Abdullah. Hingga 2011, salah seorang anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh Usman Abdullah alias Toke Seum di PAW untuk persiapan mengikuti Pilkada Langsa 2012.

Nurzahri akhirnya dilantik sebagai pengganti Toke Seum. Dari sanalah dia terus berkiprah di parlemen Aceh dan bekerja di komisi I.  Di periode pertamanya, Nurzahri aktif menyusun sederet qanun fenomenal, seperti Qanun Lambang Bendera dan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR.

Di samping itu, dia juga terus memperkuat basis konstituennya di daerah pemilihan. “Sebagai anggota dewan, kita memiliki daerah pemilihan, karena itu wajib untuk kita tampung semua aspirasi dari dapil dan merealisasikannya,” katanya.

Konsep ini memang efektif. Pada pemilu legislatif 2014, Nurzahri dipercaya masyarakat Langsa dan Tamiang untuk kembali mewakili mereka di parlemen Aceh.

Untuk 2,5 tahun pertama, dia ditempatkan di Komisi VII DPRA yang membidangai Agama, Kebudayaan dan Pariwisata. Dan pada rotasi alat kelengkapan dewan baru-baru ini, dia digeser ke komisi II, dan para anggota komisi sepakat menunjuknya sebagai ketua komisi tersebut.(*)

Komentar