Akibat Hukum Kawin Siri

Ilustrasi nikah siri
Perkawinan memang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Namun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mewajibkan setiap perkawinan harus dilakukan pencatatan untuk mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan bukan untuk menentukan sah tidaknya perkawinan tapi menjadi bukti hukum bahwa telah berlangsungnya perkawinan.

Tanpa akta perkawinan, anak dan istri dari perkawinan siri tidak memiliki legalitas di hadapan negara dan tidak diakui oleh negara. Akibat tidak adanya legalitas, maka memunculkan dampak hukum lain menyangkut status anak dari pernikahan siri. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin.

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sang anak baru bisa mendaptkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hubungan perdata dengan ayahnya.

Anak yang dianggap lahir diluar perkawinan tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran, akan tetapi di akta tersebut hanya mencantumkan nama ibunya, sementara jika ingin mencantumkan nama ayahnya dalam akta kelahiran maka harus melalui pengadilan sebagai bentuk pengakuan negara terhadap anak tersebut.

 Namun, sebelum adanya putusan pengadilan terkait pengakuan sang ayah terhadap anak hasil pernikahan siri, maka anak tersebut menurut Pasal 43 ayat (1) UUP jo. pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak berhak mewaris dari ayahnya. Sebab, sang anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan, menurut Pasal 863 KUHPerdata, jika anak hasil pernikahan siri itu diakui oleh ayahnya maka ia berhak mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah.

 Selain itu, jika di kemudian hari salah satu pasangan dalam pernikahan siri ingin berpisah dan menikah lagi secara sah dengan orang lain, status pernikahan siri juga bisa menjadi ganjalan. Tidak adanya legalitas berupa buku nikah sebagai bukti diakuinya pernikahan oleh negara, tapi juga berdampak pada proses perceraian. Karena orang yang melakukan pernikahan siri dan ingin bercerai, harus menghadap Pengadilan Agama untuk melakukan itsbat nikah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 huruf (a) KHI yang mengatur bahwa itsbat nikah harus dilakukan berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. []

Komentar