Memidana PSK Online di Aceh


PSK Online di Banda Aceh (Foto: Acehnews.com)

Tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum terhadap para pekerja seks komersial (PSK) yang diungkap oleh aparat Polisi Resort Kota (Polresta) Banda Aceh setelah ditangkap di dua hotel berbeda, Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh, pada Minggu 22 Oktober 2017 dinihari dan Hotel The Pade, Aceh Besar, pada Rabu 21 Maret 2018 malam sempat membuat heboh dan memicu kemarahan masyarakat mengingat Aceh sedang menggalakkan penerapan hukum Islam secara kaffah. 

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah yang merupakan produk dari penerapan syariat Islam di Aceh sendiri hanya mengatur tentang tindak pidana (jarimah) perzinahan, khamar (minuman keras/mabuk) dan maisir (perjudian), liwath (homo seks), khalwat (berduan di tempat sepi) dan ikhtilat (bercumbu) dan tidak mengatur tentang prostitusi. Begitu juga dalam KUHPidana, yang hanya menjerat para penyedia tempat dan germo para PSK tersebut. 

Oleh sebab itu penyidik Polresta berdalih, para PSK lepas dari jeratan hukum lantaran tidak ada satupun regulasi yang dapat menjerat mereka untuk dapat dihukum, baik dengan Qanun Jinayah, maupun KUHPidana kendatipun cukup meresahkan publik di Aceh.

Para PSK pun hanya diberikan pembinaan dengan mengembalikan ke orang tua masing-masing dan diharuskan untuk wajib lapor dalam batas waktu tertentu ke Polresta Banda Aceh. Dari unsur perbuatan, prostitusi dapat dikatakan sama dengan zina. Dimana antara seorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan badan (zina) di luar dari ikatan pernikahan yang sah secara hukum.

Namun, yang membedakan zina dengan prostitusi adalah unsur dari kedua perbuatan ini. Prostutusi bernilai bisnis, dimana seorang pria membeli jasa yang ditawarkan oleh germo untuk behubungan badan dengan satu atau lebih PSK dengan bayaran dan batasan waktu tertentu. Sementara zina, dilakukan atas dasar suka sama suka antara pihak laki-laki dan perempuan tanpa mengharap imbalan berupa bayaran.

Lepasnya para PSK dari jeratan hukum ini rupanya cukup membuat sebagian masyararat Aceh berang, bahkan beberapa anggota DPRA ikut mendesak agar para PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal zina dalam Qanun Jinayah. Harapannya, agar dapat menjadi pelajaran pada para PSK lainnya dan wajah penerapan syariat Islam di Aceh tidak tercoreng dengan praktik prostitusi tersebut.

Tidak mendapat respon dari penyidik Polresta Banda Aceh membuat desakan-desakan tersebut kian liar, terutama di media sosial. Beberapa akun malah tanpa tending aling-aling menuding aparat kepolisian di Aceh bermain dalam menangani dan pengungkapan kasus tersebut karena pada PSK tersebut disinyalir sering dipakai oleh para pejabat di Aceh, sehingga sebagian ormas Islam di Aceh menggelar unjuk rasa meminta polisi menindak para PSK. Namun, tetap saja polisi mengaku tidak bisa memproses para PSK karena tidak ada aturan yang mengatur, para pakar hukum Islam di Aceh juga sepakat jika para PSK tidak dapat dijerat karena tidak ada aturan yang mengatur.

Penulis sepakat bahwa KUHP dan Qanun Jinayah tidak mengatur tentang ancaman pidana terjadap para PSK. Kendatipun demikian, penulis melihat aparat penegak hukum dapat menjerat para PSK dengan Undang-Undang (UU) No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.


Prostitusi

Prostitusi atau juga bisa disebut pelacuran berasal dari bahasa Latin, yaitu prostituere yang berarti membiarkan diri untuk berbuat zina. Dalam bahas Inggris prostitusi disebut prostitution yang juga berarti pelacuran. Orang yang melakukan perbuatan prostitusi disebut pelacur yang dikenal juga dengan PSK.

Pelacuran dalam kamus Bahasa Indonesia dijelaskan berasal dari kata lacur yang berarti malang, celaka, sial dan buruk laku. Pelacuran merupakan perihal menjual diri sebagai pelacur. Secara terminologi, pelacuaran atau prostitusi merupakan penyediaan layanan seksual yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan untuk mendapatkan uang dan kepuasan.

Kartini Kartono memberikan definisi bahwa pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri denga dengan gejala jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian banyak orang untuk memuaskan nafsu seks dengan imbalan pembayaran atau penyimpangan seksual, dengan pola-pola orgaisasi nafsu seks tanpa kendali dengan bayak orang atau promiskuitas, disertai eksploitasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

Dapat disimpulkan, prostitusi adalah pertukaran antara pelayanan jasa dan upah yang didapatkan oleh PSK. PSK dalam praktik prostitusi bermotif komersil atau alasan keuntungan material, sementara pihak pria menjadikan prostitusi sebagai alat pemuas nafsu seksual.

Secara umum, prostitusi dikenal sebagai hubungan persenggamaan antara pria dan wanita tanpa terikat piagam pernikahan yang sah. Perbuatan ini dipandang rendah dari sudut moral dan akhlak, dosa menurut agama tercela dan tidak pantas menurut penilaian buadaya masyarakat di Indonesia. Pun demikian, banyak orang yang menjadikan pelacuran sebagai salah satu profesi dan lahan bisnis untuk tujuan ekonomi yang seiring kemajuan zaman muncul istilah prostitusi online. 


Faktor ekonomis menjadi salah satu alasan utama untuk terjun ke dunia pelacuran. Padahal, melakukan perzinahan merupakan salah satu diantara sebab-sebab dominan yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban, menularkan penyakit-penyakit yang sangat berbahaya, mendorong orang untuk terus menerus hidup membujang serta praktik hidup bersama tanpa ikatan yang sah baik agama dan hukum. 


Dengan demikian, zina merupakan sebab utama kemelaratan, pemborosan, pencabulan, serta pelacuran. Karena hal tersbut maka Islam menetapkan hukuman yang keras dan berat terhadap pelaku zina. Hukuman tersebut memang berat tapi masih ringan dibandingkan dengan kejahatan yang ditimbulkan oleh perbuatan zina itu sendiri terhadap masyarakat. Untuk itu, Islam memilih mana yang lebih ringan diantara memberikan hukuman berat kepada pelaku zina, dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat umum. 


Prostitusi ini terjadi akibat urbanisasi yang tanpa diikuti urbanisasi secara sosial (perubahan pola prilaku urbanisan) terdapat beberapa dampak negative dalam aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi maupun aspek sosial dan hukum, yang salah satunya adalah timbulnya prostitusi. Dengan modal pengetahuan dan keterampilan yang seadanya tanpa mengetahui perbedaan yang sangat kontras antara perdesaan dan kota-kota kecil merupakan kendala utama dalam memperoleh pekerjaan yang diimpikan sebelumnya. 


Keadaan terpaksa oleh kegagalan demi kegagalan untuk mendapatkan pekerjaan legal, keengganan untuk kembali ke desa, ditunjang dengan tipuan dan rayuan para lelaki hidung belang merupakan awal menuju dunia prostitusi. Keadaan kondisi masyarakat kota yang sistem solidaritasnya lemah merupakan factor yang memengaruhi masyarakat cenderung melupakan ajaran agama dan beralih pada pemuasan nafsu. 

Oleh karena itu, pada saat yang sama, peluang pemuasan nafsu sangat beragam dan mengakibatkan pengabaian ajaran agama. Perzinaan dan homoseksual menjadi bagian tradisi masyarakat ini dan mengakibatkan rusaknya spesies manusia.


Faktor-faktor penyebab prostitusi 

a. Faktor Moral 

Adanya demoralisasi atau rendahnya factor moral, ketakwaan individu dan masyarakat, serta ketidaktakwaan terhadap ajaran agama. Standar pendidikan dalam keluarga mereka pada umumnya rendah. Berkembangnya pornografi secara bebas dan liar. 

b. Faktor ekonomi
Adanya kemiskinan dan keinginan untuk merereaih kemewahan hidup, khususnya dengan jalan pintas dan mudah, tanpa harus memiliki keahlian khusus, meskipun kenyataannya mereka buta huruf, pendidikan rendah, berpikiran pendek, sehingga menghalalkan pelacuran. 

C. Faktor Sosiologis

Ajakan dari teman-teman sedaerahnya yang sudah lebih dahulu terjun ke dunia pelacuran. Pengalaman dan pendidikan yang sangat minim, akhirnya dengan mudah terbujuk dan terkena tipuan. Terutama dengan menjanjikan pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi dan akhirnya dijebloskan ke tempat pelacuran-pelacuran. 


d. Faktor Psikologis
Hubungan keluarga yang berantakan, terlalu menekan, dan mengalami kekerasan seksual dalam keluarga, serta adanya pengalaman traumatis (luka jiwa) dan rasa ingin balas dendam yang diakibatkan oleh hal-hal seperti kegagalan dalam perkawinan, dimadu, dinodai oleh kekasihnya yang kemudian ditinggalkan begitu saja.


e. Faktor kemalasan
Faktor kemalasan biasanya diakibatkan oleh psikis serta mental yang rendah, tidak memiliki norma agama dan susila menghadapi persaingan hidup. Hanya dengan modal fisik, kecantikan sehingga dengan mudah mengumpulkan uang.


f. Faktor biologis
Adanya nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian yang tidak merasa puas mengadakan hubungan seksual dengan satu isteri/suami.


g. Faktor yuridis
Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran serta tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan sedangkan yang dilarang dalam undang-undang hanya muncikari dan germo.


h.  Faktor pendukung
Adanya media atau alat pendukung dalam melakukan kegiatan prostitusi sangat memengaruhi mereka yang bekerja di bidang ini. Dengan adanya teknologi pendukung seperti internet maupun ponsel membuat seseorang dengan mudah dapat bertransaksi. 


Faktor yang disebutkan di atas adalah yang secara umum dijadikan alasan oleh seorang PSK sehingga ia mau untuk melakukan pekerjaan yang di dalam masyarakat sangat dianggap miring dan sangat mengganggu struktur sosial. Peran media komunikasi merupakan hal yang sering digunakan dalam transaksi-transaksi prostitusi. 


Kebutuhan dan kecenderungan prilaku seks tersebut merupakan esensi manusia dalam pemaknaan hidupnya, sebagai pelampiasan dari rutinitas, kejenuhan, konflik diri, dan gaya hidup. Menurut Michel Foucault, dalam hal ini dikaitkan seks bagian dari kekuasaan yang dipahami sebagai hubungan kekuatan yang immanen.


Sanksi pidana prostitusi.

Bukan rahasia umum lagi jika praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia sudah dilakukan secara gambling dan terang-terangan beroperasi di tengah-tengah masyarakat, bahkan dalam menjalankan bisnisnya para PSK seolah-olah tidak takut terhadap adanya penindakan hukum oleh aparat, maupun adanya reaksi keras dari masyarakat yang menolak adanya praktik prostitusi. 


Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Alyasa` Abubakar menyebutkan bahwa, kesaksian dalam kasus zina yang akan dianggap sah kalau diberikan oleh empat orang, yang kesemuanya memberikan kesaksian atas perbuatan yang sama, yang dilakukan oleh orang yang sama, yang terjadi pada waktu dan tempat yang sama. 


Kalau empat orang saksi ini memberi kesaksian secara berbeda, misalnya saksi pertama melihat mereka berdua berzina pada pagi hari sedang saksi yang lain melihatnya pada sore hari, maka kesaksian tersebut dianggap tidak sah. Begitu juga kalau seorang saksi mengaku telah melihat mereka berzina, sedang saksi yang lain hanya melihat mereka tidur bersama di dalam kamar, maka kesaksian tersebut dianggap tidak cukup sebagai alat bukti. 


Kalau orang yang menuduh atau aparat penegak hukum tidak mempunyai empat orang saksi yang memenuhi ketentuan di atas, maka mereka tidak boleh menuduh atau menuntut orang tersebut dengan kejahatan zina. Kalau hal itu mereka lakukan, maka para penuduh ini dianggap telah melakukan perbuatan pidana qadzaf, yaitu menuduh orang berbuat zina tanpa bukti yang sah. Mereka dapat diajukan ke pengadilan dan akan dijatuhi hukuman cambuk 80 kali. 


Kemudian, pengakuan, yaitu seseorang mengaku bahwa dia telah berzina. Untuk ini perlu diingat betul bahwa pengakuan hanya berlaku dan mengikat untuk orang yang mengaku. Orang yang tidak mengaku tidak dapat ditarik ke dalam pengakuan orang lain. Cara ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Bentuk pertama, orang tersebut atas inisiatif sendiri, mengakui perbuatan zina yang telah dia lakukan dan meminta untuk dihukum. Dalam keadaan ini dia datang ke Mahkamah Syar‘iyah untuk membuat pengakuan bahwa dia telah berzina dan meminta untuk dijatuhi hukuman cambuk 100 kali. 


Pengakuan tersebut hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Dia tidak boleh menyebut, apalagi menyeret nama pasangannya. Kalau dia menyeret nama pasangannya dan pasangan tersebut tidak mau mengaku, maka orang yang menyebutkan namanya tadi, mesti menghadirkan empat orang saksi yang telah melihat mereka berdua melakukan perbuatan zina. 


Kalau orang yang mengaku berzina dan ingin menyeret nama pasangannya tadi tidak dapat menghadirkan empat orang saksi, maka dia dianggap telah melakukan kejahatan zina dan kejahatan qadzaf. Karena itu dia akan dijatuhi hukuman dua kali, pertama hukuman cambuk 100 kali atas perbuatan zina yang dia mohon/akui dan kedua hukuman cambuk 80 kali karena kejahatan menuduh seseorang telah berzina (dalam hal ini dengan dirinya). 


Bentuk yang kedua, seseorang yang diperiksa karena kasus khalwat atau ikhtilath mengaku bahwa dia telah melakukan zina. Dalam keadaan ini penyidik akan mencatat pengakuan tersebut dalam berita acara dan tidak perlu mendalaminya. Penyidik tetap fokus pada kasus khalwat/ikhtilath dan memberkas/mengajukan perkaranya sebagai kasus khalwat/ikhtilath. Nanti sesampai ke Mahkamah dia dapat mengulangi pengakuanya atau hakim yang akan bertanya; apakah dia tetap akan meneruskan pengakuannya. Kalau dia meneruskan pengakuan bahwa dia telah berzina, maka dia dianggap terbukti melakukan perbuatan pidana zina berdasarkan pengakuan di depan mahkamah. 


Tetapi kalau dia tidak mengaku atau mencabut/membatalkan pengakuannya, maka dia akan diperiksa atas kasus khalwat yang diajukan jaksa. Dalam keadaan ini pasangannya yang sama-sama dituntut karena melakukan khalwat atau ikhtilath, diberi kebebasan dan hak untuk mengaku telah berzina atau tidak. 


Kalau si pasangan tidak mau mengaku telah berzina (walaupun diyakini bahwa dia berdusta), maka dia tidak dapat dituntut telah melakukan kejahatan zina, karena bukti untuk itu, yaitu empat orang saksi tidak ada (tidak cukup). Dengan demikian orang yang mengaku telah berzina yang menyebut/ingin menyeret pasangannya akan dijatuhi hukuman zina dicambuk 100 kali dan hukuman atas kejahatan qadzaf (menuduh orang berzina tanpa bukti empat orang saksi) dicambuk 80 kali. 


Terakhir, pengakuan berzina yang diajukan oleh perempuan yang hamil karena perzinaan tersebut. Dalam keadan ini, si perempuan boleh menyebut nama orang yang menjadi pasangannya berzina, yang menyebabkan kehamilan tersebut. Untuk itu, DNA si anak dan si laki-laki akan diperiksa. Kalau hasil test menyatakan DNA anak sama dengan DNA si laki-laki, maka dia dinyatakan terbukti telah berzina dengan si ibu yang melahirkan bayi tersebut.  Si ibu dijatuhi hukuman cambuk 100 kali karena pengakuannya, sedang si ayah akan diajtuhi hukuman yang sama berdasarkan bukti hasil test DNA tadi. dan tidak mengatur tentang prostitusi. 


Prostitusi apabila kita lihat dalam KUHP maka tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus tentang prostitusi sehingga secara kriminologis sulit untuk mengatakan bahwa pelacuran itu sebagai suatau kejahatan, sebab tidak menimbulkan korban, dilihat dari delik-delik kesusilaan dalam KUHP Pasal 281-Pasal 303-Pasal 296 dan Pasal 506 tidak ditujukan pada PSK melainkan untuk pemilik rumah bordil, germo atau muncikari.

Prostitusi dalam UU Pornografi.

Dalam UU No 4 Tahun 2008 tentang Pornografi memang tidak ditemukan secara jelas tentang kata prostitusi seperti dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam Pasal 1 ayat 1 UU Pornografi dijelaskna bahwa: Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau ekploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 


Dari semua yang disebutkan di atas, hanya membatasi pada hal-hal yang membuat kecabulan atau ekploitasi seksual. Mengenai permasalahan prostitusi pasal ini menyebutkan dengan kata jasa pornografi yang terdapat pada Pasal 1 ayat (2), yaitu jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang-perorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah dan barang cetakan lainnya. Praktik prostitusi yang diatur dalam UU ini diperjelas pada Pasal 4 ayat (2) huruf d tentang larangan serta pembatasan. Isi Pasal 4 ayat (2) huruf d yakni: Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. 


Melihat kembali Pasal 1 ayat (2) dan menghubungkan dengan Pasal 4 ayat (2) huruf d, maka praktik prostitusi online seperti yang terjadi di ungkap oleh Polresta di Banda Aceh dapat dipidana karena telah memenuhi unsure pidana dalam pasal tersebut. Seperti unsur kecabulan dan ekploitasi seksual pada Pasal 1 ayat (2) dan unsure yang menawarkan jasa layanan seksual. Mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam praktik prostitusi online, seperti muncikari, pemilik website atau forum, PSK dan pemilik server. 


Untuk para PSK, UU Pornografi menyebutkab pada Pasal 8 yaitu “setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornograf.” Maksud pasal tersebut adalah, melarang orang yang menjadikan dirinya objek yang bermuatan pornografi baik oleh diri sendiri ataupun atas seinzin dirinya. 


Sebagaimana diketahui, dalam praktik prostitusi online ada dua hal yang biasa dilakukan PSK, ada yang dilakukan secara sendiri tanpa pihak yang memfasilitasi, ini terjadi pada media aplikasi obrolan, seperti Yahoo Mesenger, WhatApp atau jejaring sosial lainnya, dan ada juga pihak yang ikut memfasilitasi transaksi seks seperti pada website atau forum-forum.* 


Referensi
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1997, Edisi 2. 

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984. 

Robert P Masland, Jr. David Estriade, Apa yang Ingin Diketahui Remaja tentang Seks, Jakarta: Bumi Aksara, 1978. 

Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKis, 1994. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 9.

Terjemahan: Moh. Nababan Husein, Bandung, Al-Ma`arif, 1995. Paisol Burlian, Patologi Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 2016. 

Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 

Al Yasa’ Abubakar, Pembuktian Zina dalam Qanun Jinayat, http://aceh.tribunnews.com/2018/04/19/pembuktiab-zina-dalam-qanun-jinayat. Banda Aceh, diakses Senin, 28/6/2018.[]


Komentar